K.H. AHMAD MARZUKI AL-BETAWI
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M) Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.
Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M) Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.
Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu
Pada
saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya.
Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih
sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki
dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk
memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki
kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats)
dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad
Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun
merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna
menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu
berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.
Guru-guru di Haramain
Guru-guru di Haramain
Selama
tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru
Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama
terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru
Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani
(w. 1329 H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul
karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H),
Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.), Syekh Umar
al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi (w. 1338 H.), Syekh Sa’id al-Yamani
(w. 1352 H), Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri
al-Dimyathi (w. 1331 H.), Syekh Muhammad Ali al-Maliki (w. 1367 H.) dan
lain-lain.
Ilmu
yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof,
balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits,
mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu
falak (astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah
untuk menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri
al-Dimyathi (w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari
Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah
al-Mukarramah.
Dalam
disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University (hal. 63 –
66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar
hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi
di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.
Sistem Mengajar dan Para Muridnya
Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).
Sistem Mengajar dan Para Muridnya
Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).
Cara
mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu
sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru
melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi
berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima
orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak
sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil
berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang
belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama
seperti kelompok sebelumnya.
Mengajar
dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi
masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara
bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi
penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh
menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian
mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang,
seperti KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar
Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru
Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH.
Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin), KH.
Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua
Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH. Abdul Jalil (tokoh ulama
dari Tambun, Bekasi), KH. Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing),
KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam al-Falah,
Klender), dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik),
putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama,
seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi),
KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).
Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi
Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi
Dalam
kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki
termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi
lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH.
Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid)
dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH.
Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .
Guru
Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini
memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka
yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan
sekitarnya). Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam
pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak
menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang
diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka
Betawi selanjutnya.
Wafatnya
Wafatnya
Guru
Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353
H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan
Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah
yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w.
1388/1968) .
Di
masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang
dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga
dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai
ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau
tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir
kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang
puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib
al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.
No comments:
Post a Comment